ETIKA LINGKUNGAN HIDUP
A. Pengertian dan Definisi Etika Lingkungan
Etika (Bertens, 1993) berasal dari kata Yunani ethos yang berarti
watak kesusilaan
atau
adat. Etika identik dengan kata moral yang berasal dari kata latin mos, yang dalam bentuk jamaknya mores
yang
juga berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral artinya sama, namum dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas
dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian
sistem nilai-nilai yang ada.
Suseno (1987) membedakan
ajaran moral
dan etika. Ajaran moral adalah ajaran wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi
manusia yang baik. Sumber langsung
ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan agama, dan tulisan para bijak. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran dan pandangan moral.
Keraf (2005) memberikan
suatu pengertian
tentang etika lingkungan hidup
adalah berbagai prinsip
moral
lingkungan. Etika
lingkungan tidak hanya
dipahami dalam pengertian
yang sama
dengan pengertian moralitas. Etika lingkungan
hidup lebih dipahami sebagai
sebuah kritik atas etika yang selama ini
dianut oleh manusia, yang dibatasi pada komunitas sosial manusia. Etika lingkungan hidup menuntut agar etika dan moralitas tersebut diberlakukan juga bagi komunitas biotis dan komunitas ekologis.
Etika lingkungan hidup juga dipahami sebagai refleksi
kritis atas norma-norma dan
prinsip atau
nilai moral yang
selama
ini dikenal
dalam komunitas manusia
untuk
diterapkan secara lebih luas dalam
komunitas
biotis dan komunitas
ekologis.
Etika
lingkungan hidup juga dipahami sebagai
refleksi kritis tentang apa yang harus dilakukan
manusia dalam menghadapi pilihan-pilihan moral yang terkait dengan isu
lingkungan hidup.
Termauk juga
apa yang
harus
diputuskan manusia manusia
dalam membuat pilihan moral dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang berdampak pada lingkungan
hidup.
Etika lingkungan hidup
merupakan
petunjuk atau arah perilaku praktis
manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dengan etika
lingkungan
kita manusia tidak saja
mengimbangi hak dengan kewajiban
terhadap
lingkungan, tetapi
etika lingkungan hidup juga membatasi perilku, tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai
kegiatan agar tetap berada dalam batas kelentingan lingkungan hidup. Jadi
etika lingkungan hidup juga
berbicara mengenai relasi di antara semua
kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan
antara manusia dengan mahkluk lain atau dengan alam secara keseluruhan, termasuk di dalamnya berbagai kebijakan yang mempunyai dampak langsung atau
tidak langsung terhadap alam. Untuk menuju kepada
etika lingkungan hidup tersebut, diperlukan pemahaman tentang perubahan paradigma terhadap lingkungan hidup itu sendiri.
B. Paradigma Lingkungan Hidup
Paradigma adalah pandangan dasar yang dianut
oleh para ahli
pada kurun waktu
tertentu, yang diakui
kebenarannya, dan didukung oleh sebagian besar
komunitas, serta berpengaruh terhadap perkembangan ilmu dan kehidupan.
Harvey dan Holly (1981)
mengutip batasan pengertian
paradigma yang dikemukakan oleh
Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (1970) yang mengartikan paradigma sebagai
”keseluruhan kumpulan (konstelasi) kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, cara-cara
(teknik) mempelajari, menjelaskan, cakupan dan sasaran kajian,
dan sebagainya yang dianut oleh warga suatu komunitas tertentu”
Sejalan dengan perkembangan kebutuhan manusia, filsafat dan ilmu juga
berkembang semakin
kritis dalam melihat dan mengkaji hubungan
manusia dengan alam.
Bersamaan dengan itu, ada perubahan dalam melihat hubungan manusia dengan alam. Perubahan hubungan
manusia dengan alam tersebut mulai dari antroposentrisme,
biosentrisme dan ekosentrisme.
Antroposentrisme
merupakan
suatu etika
yang memandang manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta. Di dalam antroposentrisme, etika, nilai dan prinsip
moral
hanya
berlaku bagi manusia, dan bahwa kebutuhan
dan
kepentingan manusia
mempunyai nilai
paling
tinggi dan paling
penting diantara mahkluk hidup
lainnya.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam
kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai
tertinggi
adalah manusia dan kepentingannya. Hanya
manusia yang mempunyai nilai dan
mendapat perhatian. Segala sesuatau yang lain di alam semesta ini hanya akan
mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi
kepentingan manusia. Oleh karena itu, alampun
dilihat hanya sebagai obyek, alat, dan
sarana bagi pemenuhan kebutuhan dna
kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya
sendiri. Murdy
dalam keraf (2005) ingin menyatakan bahwa yang menjadi
masalah
bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri
manusia yang memperalat alam semesta untuk kepentingannya. Tetapi masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan hidup adalah
tujuan-tujuan tidak
pantas
dan
berlebihan
yang
dikejar
oleh manusia
di
luar batas toleransi ekosistem
itu sendiri.
Akhirnya dengan demikian
manusia bunuh
diri. Krisis
lingkungan hidup
bukan
disebabkan
oleh pendekatan antroposentris
semata,
tetapi
melainkan oleh pendekatan antroposentrisme yang berlebihan.
Biosentrisme, merupakan suatu paradigma yang memandang bahwa setiap kehidupan dan mahkluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri, sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Konsekuensinya, alam semesta adalah sebuah komunitas
moral, setiap
kehidupan dalam alam semesta ini, baik
manusia maupun bukan manusia atau mahkluk lain, sama-sama
mempunyai nilai moral. Seluruh kehidupan di alam semesta sesungguhnya membentuk sebuah komunitas moral. Oleh karena itu, kehidupan
mahkluk hidup apa pun pantas dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan
dan tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung dan
rugi bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, etika tidak dipahami secara terbatas
dan sempit sebagai hanya berlaku pada komunitas manusia. Tetapi juga berlaku bagi
seluruh komunitas biotis termasuk komunitas manusia dan komunitas mahkluk
hidup lainnya.
Ekoseentrisme, merupakan suatu paradigma yang lebih jauh jangkauannya. Pada ekosentrisme, justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup
maupun yang tidak hidup.
Secara ekologis, mahkluk hidup dan
benda-benda abiotis
lainnya saling terkait satu sam alain. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab
moral
tidak hanya dibatasi pada mahkluk hidup. Kewajiban
dan tanggung jawab
moral
yang
sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Sebenarnya perubahan pandangan
tersebut sudah dimulai sejak lama, dipelopori oleh
seorang tokoh
dengan
memperkenalkan istilah
deep ecology. Deep Ecology adalah suatu teori yang pertama
kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang
filsuf Norwegia
tahun 1973, dan sekenal sebagai salah seorang tokoh utama gerakan deep ecology
hingga sekarang. Deep Ecology
menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat hanya
pada manusia, tetapi berpusat pada
mahkluk hidup secara keseluruhan dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hdiup. Etika baru ini tidak mengubah
sama
sekali hubungan antara manusia dengan
manusia. Yang baru adalah manusia dan
kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala
sesuatu yang lain. Manusia bukan lagi
pusat pusat dari dunia moral. Tetap lebih menyangkut gerakan yang jauh lebih dalam dan
komprehensif dari
sekedar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis. Serta menuntut
suatu pemahaman yang baru tentang relasi etis
yang
ada dalam alam semesta disertai
adanya prinsip-prinsip
baru sejalan dengan relasi
etis baru tersebut, yang kemudian diterjemahkan dalam gerakan atau aksi nyata di
lapangan (Keraf, 2008).
C. Prinsip-Prinsip Etika Lingkungan
Prinsip etika lingkungan hidup dirumuskan dengan tujuan untuk dapat dipakai sebagai
pegangan dan tuntunan bagi
perilaku manusia dalam berhadapan
dengan alam, baik perilaku
terhadap alam secara langsung maupun perilaku terhadap sesama manusia yang berakibat tertentu
terhadap alam. Serta secara lebih luas, dapat dipakai sebagai
pedoman dalam pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan hidup berkelanjutan.
Keraf
(2005:
143-159) memberikan minimal
ada sembilan prinsip dalam
etika lingkungan hidup. Pertama adalah sikap hormat terhadap alam atau respect for nature.
Alam mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia bergantung
pada alam. Tetapi terutama
karena
kenyataan ontologis bahwa manusia adalah bagian
integral dari alam. Manusia anggota komunitas ekologis. Manusia merupakan makhluk
yang
mempunyai kedudukan paling
tinggi, mempunyai kewajiban menghargai hak semua
mahkluk hidup untuk berada, hidup, tumbuh,
dan berkembang secara alamiah sesuai dengan tujuan penciptanya. Maka sebagai perwujudan nyata dari penghargaan itu,
manusia perlu memelihara, merawat,
menjaga,
melindungi,
dan
melestarikan
alam beserta
seluruh isinya. Manusia tidak diperbolehkan
merusak, menghancurkan, dan sejenisnya bagi alam beserta seluruh isinya tanpa alasan yang dapat dibenarkan secara
moral.
Kedua, prinsip tangungg jawab atau moral responsibility for nature.
Prinsip tanggung jawab disini bukan saja secara individu tetapi juga secara berkelompok atau
kolektif. Prinsip tanggung jawab bersama ini setiap orang dituntut dan terpanggil untuk
bertanggung jawab memelihara alam semesta
ini
sebagai milik bersama dengan
cara memiliki yang tinggi, seakan merupakan
milik pribadinya. Tangung jawab ini akan muncul
seandainya pandangan dan sikap
moral yang dimiliki adalah
bahwa
alam dilihat tidak sekadar demi kepentingan manusia,
milik bersama lalu diekploitasi tanpa rasa tanggung
jawab. Sebaliknya kalau alam dihargai sebagai bernilai pada dirinya sendiri maka rasa
tanggung
jawab
akan muncul
dengan sendirinya
dalam
diri manusia, kendati yang dihadapi
sebuah milik bersama.
Ketiga, solidaritas kosmis atau cosmic solidarity. Solidaritas
kosmis mendorong manusia untuk menyelamatkan lingkungan, untuk menyelamatkan semua kehidupan di
alam. Alam dan semua kehidupan di dalamnya mempunyai nilai yang sama dengan
kehidupan manusia. Solidaritas kosmis
juga mencegah manusia untuk tidak merusak dan
mencermati alam dan seluruh
kehidupan
di dalamnya, sama
seperti manusia tidak akan
merusak kehidupannya serta rumah tangganya sendiri. Solidaritas kosmis berfungsi untuk mengontrol perilaku manusia dalam batas-batas keseimbangan kosmis, serta mendorong
manusia untuk mengambil kebijakan yang pro alam, pro lingkungan atau tidak setuju
setiap tindakan yang merusak alam.
Keempat, prinsip
kasih
sayang dan kepedulian terhadap alam atau caring for
nature. Prinsip kasih sayang dan kepedulian merupakan prinsip moral satu arah, artinya tanpa mengharapkan
untuk balasan. Serta
tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan pribadi tetapi semata-mata untuk kepentingan alam. Diharapkan semakin mencintai
dan peduli terhadap alam manusia semakin berkembang menjadi
mnusia yang matang, sebagai pribadi dengan identitas yang kuat. Alam tidak hanya memberikan penghidupan dalam pengertian
fisik saja, melainkan
juga dalam pengertian mental dan spiritual.
Kelima, prinsip tidak merugikan atau no
harm, merupakan prinsip tidak merugikan alam secara
tidak perlu. Bentuk minimal berupa tidak perlu melakukan tindakan ayng merugikan atau mengancam eksistensi mahkluk hidup lain di alam semesta. Manusia tidak
dibenarkan
melakukan tindakan yang merugikan sesama
manusia. Pada masyarakat tradisional yang menjujung tinggi adat dan kepercayaan, kewajiban minimal
ini
biasanya dipertahankan dan dihayati melalui beberapa bentuk tabu-tabu. Misalnya pada masyarakat
perdesasan yang
masih percaya dan melakukan ritual di tempat
tertentu, seperti sendang (jawa) yaitu suatu lokasi keluarnya sumber air secara
alami, dipercayai memiliki nilai ritual tidak boleh setiap orang membuang sesuatu, tidak diperkenankan melakukan
kegiatan secara
sembarangan, dan setiap hari-hari tertentu
dilaksanakan ritual. Siapa saja yang melakukan dipercayai akan
mendapatkan sesuatu yang kurang baik bahkan kutukan.
Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Prinsip ini
menekankan pada nilai, kualitas, cara hidup, dan bukan kekayaan, sarana, standart
material. Bukan
rakus dan tamak mengumpulkan
harta
dan
memiliki sebanyak-
banyaknya, mengeksploitasi alam, tetapi yang lebih penting adalah mutu kehidupan yang baik. Pola konsumsi dan produksi pada manusia modern yang bermewah-mewah dalam
kelimpahan dan berlebihan, yang berakibat pada saling berlomba mengejar
kekayaan
harus ditinjau
kembali. Hal ini menyangkut gaya hidup bersama, apabila dibiarkan
dapat menyebabkan materialistis,
konsumtif, dan eksploitatif.
Prinsip moral hidup sederhana harus dapat diterima oleh semua pihak sebagai
prinsip pola hidup yang baru. Selama tidak dapat menerima, kita sulit berhasil menyelamatkan lingkungan hidup. Emil
Salim (1987) memebrikan penejalsan bahwa di
Indonesia, sudah berulang kali dari pimpinan menganjurkan
pola hidup sederhana, tetapi
yang
seperti apa? Masih sangat subyektif, karena harus disesuaikan dengan keadaan
masing-masing masyarakat, dan ukuran yang pasti belum ada. Untuk menuju pola hidup sederhana orang diminta untuk tenggang rasa, tetapi karena tidak semua orang peka
untuk tenggang rasa, hasil anjuran untuk hidup sederhana belum banyak berhasil. Tetapi etis dapat
menjadi
dorongan yang amat
kuat, apabila dapat dibina dengan baik. Misalnya, apabila rasa bangga untuk hidup mewah dapat diubah menjadi
rasa malu, perasaan etis ini dengan sangat efektif akan menghambat pola
hidup mewah. Contoh dalam kehidupan
sehari-hari dapat dilakukan mulai dari lingkup rumah tangga, di lembaga-lembaga
pemerintahan maupun swasta, dan juga masyarakat.
Ketujuh, prinsip keadilan. Prinsip keadilan sangat berbeda dengan
prinsip –prinsip
sebelumnya. Prinsip keadilan
lebih ditekankan
pada
bagaimana manusia harus berperilaku satu
terhadap yang lain dalam keterkaitan dengan alam semesta dan
bagaimana sistem
sosial
harus diatur agar berdampak positip
pada kelestarian
lingkungan hidup. Prinsip keadilan terutama berbicara
tentang peluang
dan akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian alam, dan dalam ikut menikmati pemanfatannya.
Kedelapan, prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi sangat
terkait
dengan hahikat alam. Alam semesta sangat beraneka ragam.
Keanekaragaman dan pluralitas adalah hakikat alam, hakikat
kehidupan itu sendiri. Artinya, setiap kecenderungan reduksionistis
dan antikeanekaragaman serta antipluralitas bertentangan dengan alam dan anti
kehidupan. Demokrasi justru memberi tempat seluas-luasnya bagi perbedaan,
keanekaragaman, pluralitas.
Oleh
karena
itu
setiap
orang
yang peduli terhadap lingkungan adalah orang yang demokratis, sebaliknya orang yang demokratis sangat mungkin seorang pemerhati lingkungan. Pemerhati lingkungan dapat berupa
multikulturalisme, diversifikasi pola tanam, diversifiaki pola makan,
keanekaragaman hayati, dan sebagainya.
Kesembilan, prinsip integritas moral. Prinsip integritas moral terutama dimaksudkan untuk pejabat publik. Prinsip ini
menuntut pejabat publik agar mempunyai
sikap dan perilaku yang terhormat serta
memegang teguh prinsip-prinsip moral yang
mengamankan kepentingan publik. Dituntut berperilaku sedemikian rupa sebagai orang yang bersih dan disegani oleh publik karena mempunyai kepedulian yang tinggi
terhadap
lingkungan terutama kepentingan masyarakat. Misalnya orang yang diberi kepercayaan untuk melakukan Analissi Mengenai dampak Lingkungan (Amdal)
merupakan
orang-
orang yang memiliki
dedikasi moral
yang
tinggi.
Karena diharapkan dapat menggunakan
akses
kepercayaan yang diberikan
dalam melaksanakan tugasnya dan tidak merugikan lingkungan hidup
fisik dan non
fisik atau manusia. Murdiyarto (2003) menjelaskan bahwa
Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB)
memiliki
prospektif global yang menyangkut banyak kepentingan berbagai pihak, baik
secara kolektif maupun secara individu.
Kesembilan prinsip etika
lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi filter atau
pedoman untuk berperilaku arif bagi
setiap orang dalam
berinteraksi dengan lingkungan hidup sebagai
bentuk mewujudkan pembangunan di segala bidang. Baik pembangunan
berkelanjutan
berwawasan lingkungan hidup
atau pembangunan berwawasan lingkungan hidup berkelanjutan.
Secara diagramatis, keterkaitan antara filsafat, logika, estetika, dan etika, dalam
membentuk norma dalam bermasyarakat yang terbentuk berdasarkan
ilmu dan agama
(wahyu), dan selanjutnya menjadi dasar di
dalam mengkritisi etika lingkungan untuk dapat menjadi pedoman, pandangan bagi perilaku setiap orang terhadap lingkungan hidupnya
(gambar 1), karena setiap orang memiliki dan mengkaji ilmu dari berbagai aspek dan
disiplin ilmu yang berbeda.
FILSAFAT
LOGIKA ETIKA ESTETIKA
BAIK (HAQ) BURUK (BATIL)
NORMA
|
ILMU
ETIKA LINGKUNGAN
SENI
PERILAKU MANUSIA
-LINGKUNGAN
Gambar 2.1: Kerangka Hubungan Filsafat, Etika lingkungan dan Perilaku Manusia- Lingkungan (Kastama, dalam Gunawan, 2003).
D. Perilaku Manusia terhadap Lingkungan Hidup
Perilaku manusia adalah semua
kegiatan atau
aktivitas, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Atmadja, 2003). Sniker (1938)
merumuskan perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), oleh karena itu perilaku
terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme termasuk manusia, dan kemudian akan merespon. Maka teori Sniker terkenal
dengan teori ”S-O-R”.
Dilihat dari
bentuk respon terhadap stimulus,
maka perilaku dapat dibedakan
menjadi
dua yaitu pertama perilaku tertutup, adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi belum
dapat diamati secara
jelas oleh orang lain. Kedua perilaku
terbuka, adalah respon
seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respon terhadap stimulus ini
sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice.
Rogers (1974) mengungkapkan
terjadinya proses perilaku, bahwa sebelum
seseorang mengadopsi perilaku
baru (berperilaku baru),
didalam
diri orang
tersebut terjadi proses
yang
berurutan adalah awareness (kesadaran), interest (ketertarikan),
evaluation (menimbang-nimbang baik tidaknya bagi dirinya), trial (mencoba) dan adoption
(beradaptasi untuk berperilaku baru dan sudah berperilaku baru sesuai
dengan pengetahuanm,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Perilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya telah dapat dilihat secara nyata
sejak manusia belum berperadaban, awal
adanya peradaban, dan sampai
sekarang pada
saat peradaban itu menjadi modern dan semakin canggih setelah didukung oleh ilmu dan teknologi. Ironisnya perilaku manusia terhadap lingkungan hidup tidak semakin arif tetapi sebaliknya. Beberapa perilaku manusia terhadap lingkungan hidup yang pernah terjadi
dapat dilihat dari beberapa laporan yang ada, yaitu terjadinya malapetaka lingkungan di Ethiopia Afrika
tahun 1980 berupa
kekeringan dan kelaparan
berawal dari pertumbuhan
penduduk yang tinggi,
penggundulan hutan, erosi
tanah yang meluas, dan
kurangnya dukungan
terhadap
bidang pertanian (Brown, 1987). Bocornya pabrik pestisida di Bopal India dan bencana
yang terjadi di Chernobyl
Rusia ternyata menimbulkan pencemaran
lingkungan, kematian, dan gangguan kesehatan seperti kebutaan, kemandulan, penyakit
kulit, cacat seumur hidup (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan, 1988).
Bencana tanah longsor yang disebabkan kekurangcermatan dalam memilih lokasi
bermukim, bencana banjir yang disebabkan
karena aliran sungai
tidak dapat berfungsi sesuai
kaidah karena dipenuhi dengan sampah
yang
dibuang sembarangan, terjadinya
ledakan bom di berbagai lokasi yang tidak mengenal dengan
jelas
apa tujuannya, beberapa
hal
tersebut menambah deretan
panjang ketidakarifan
perilaku manusia
terhadap lingkungan hidupnya. Sebenarnya kemajuan ilmu dan teknologi
diciptakan
manusia untuk
membantu
meemcahkan masalah tetapi sebaliknya malapetaka
menajdi
semakin
banyak dan
kompleks. Oleh karena
itu
dianjurkan
untuk
dapat berperilaku
menjadi
ilmuwan yang amaliah melalui
amal
yang
ilmiah.
Brundtland, (1988) memberikan
gagasan bahwa melalui partisipasi masyarakat diharapkan dapat dikembangkan perubahan sikap dan norma-norma perilaku manusia yang
baru
dalam bertindak terhadap lingkungan hidup. Keraf
(2005)
juga telah
memberikan sembilan prinsip etika lingkungan yang telah diuraikan pada sub bagian sebelum uraian sub bab ini, untuk menjadi pedoman berperiliku terhadap lingkungan hidup.
Sekecil apapun
perilaku manusia terhadap
lingkungan hidupnya harus segera
diperbuat, tidak ada kata terlambat. Lebih baik terlambat dari pda tidak berperilaku arif
sama sekali terhadap
lingkungan hidup. Bumi
ini adalah warisan
nenek
moyang yang harus dijaga dan diwariskan terhadap anak cucu kita sebagai generasi penerus pembangunan yang berwawasan lingkungan berkelanjutan.
Lingkungan hidup terbagi menjadi tiga yaitu lingkungan alam fisik (tanah, air, udara) dan biologis (tumbuhan – hewan), lingkungan buatan (sarana prasarana), dan
lingkungan manusia (hubungan
sesama manusia). Bentuk perilaku terhadap lingkungan hidup juga mencakup ketiga macam lingkungan hidup
tersebut.
Perilaku manusia terhadap lingkungan alam fisik (tanah air dan udara), dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Beberapa contoh yang
dapat dilakukan meliputi: tidak
merusak tanah,
melakukan penanaman
secara terasering
untuk
lahan dengan kemiringan tertentu, tidak membuat rumah di lahan dengan kemiringan lebih dari
45 derajat. Tidak menggunakan air secar aboros, menutup keran air sebelum meninggalkannya, tidak membuang sampah di aliran air . Menanam pohon di setiap
tempat yangn dapat ditanami,
tidak membiarkan lahan menjadi lahan tidur atau dibiarkan.
Dalam rangka usaha manusia untuk menjaga lingkungan hidup, telah
banyak
bermunculan perilaku nyata yang
berupa gerakan-gerakan. Berbagai geraka dapat bersifat individu, berkelompok, swasta maupun pemerintah. Pada era
1970-an muncul bebrapa lembaga
yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan hidup, antara lain adalah LP3ES, Bina desa, Yayasan Lembaga Konsumen, Himpunan
untuk Kelestarian
Alam Indonesia, Yayasan Pendidikan Kelestarian Alam, Yayasan
Indonesia Hijau, Ikatan
arsitek Landssekap
Indonesia, Media Mutiara, Mapala, Perhimpunan Burung Indonesia, WALHI, PSL, SKEPHI, KRAPP. Pada lewel pemerintah
yang
dimulai dari presiden, menteri, Bapedal, Bapedalda, Kantor lingkungan Hidup, dsb. Wadah tidak menjadi hal yang penting untuk dipermasalahkan, yang lebih penting bentuk konkrit yang harus
dikalukan oleh semua pihak dalam berinteraksi
dengan lingkungan hidup.
Evaluasi
1. Jelaskan
apakah yang saudara ketahui tentang etika lingkungan hidup.
2. Jelaskan dengan contoh sembilan prinsip etika lingkungan hidup.
3. Jelaskan bagaimana perbedaan pokok antara
paradigma antroposentrisme,
biosentrisme dan ekosentrisme
4. Identifikasi beberapa perilaku arif
terhadap lingkungan hidup yang ada di
lingkungan tempat
tinggal saudara dalam kehidupan sehari-hari. Dengan peta sebagai
alat bantu.
5. Sebutkan apa saja yang telah saudara lakukan setiap hari terkait dengan perilaku
arif terhadap
lingkungan hidup fisik, buatan, dan manusia.
6. Datanglah
ke lokasi tempat pembuangan sampah sementara atau akhir (TPS atau
TPA), amati dan identifikasi ada berapa jenis sampah disitu, serta kira-kira volumenya berapa setiap satuan waktu, buat tabelnya, diskripsikan, diskusikan,
dan simpulkan. Bagaimana pendapat saudara terhadap fenomena lingkungan seperti
hal tersebut.
7. Bagaimana
pendapat saudara apabila melihat dan
memakai
bahan stereofoam
yang
dipakai untuk bahan pembungkus atau pengemas makanan? Diskusikan dengan teman-teman.
8. Bagaimana pendapat
saudara dengan fenomena pembangunan real estate
di suatu lokasi dengan kemiringan
lereng lebih dari 45 derajat? Idensifikasi, masalah
apa yang sering terjadi, rumuskan dan diskusikan dengan teman saudara
Daftar Pustaka
Anonim. 1997. Pedoman Pembinaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan
Hidup.
Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Penddikan
Dasar dan Menengah.
Berten, K., 1993. Etika. Jakarta. Gramedia. Ganter, Grace and Margaret Yeakel. 1980.
Human
Behavior
and
the Social Environment a Perspective for
Social Work
Practice. New York. Columbia Unievrsity Press.
Gunawan, Totok. 2003. Lingkungan
Hidup dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan.
Jakarta . Depdiknas.
Gunn, Alastair S dan P. Aarne Vesilind. 1986. Environmental Ethics For Engineers. New
Zealand. Lewis Publishers,
Inc.
Keraf, A.
Sonny. 2005. Etika Lingkungan. Jakarta. Penerbit
Buku Kompas.
Murdiyarso, Daniel. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Jakarta. Penerbit
Buku Kompas.
Soerjani, Moch. Rofiq Ahmad, Rozy Munir. Editor. 1987. Lingkungan: Sumber daya Alam, dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta. Penerbit Universitas indonesia.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar. Yogyakarta. Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar