Rabu, 08 Februari 2012

pro kontra nikah dini


NIKAH DINI ITU DISYARI’ATKAN & SEHAT


Nikah Dini Disyari’atkan

Menikah dini yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua. Bagi laki-laki yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub).
Sabda Nabi Muhammad SAW :
                “Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
                Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah).
                Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis et. al (1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith hal. 470 adalah orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/spesifik bagi seorang laki-laki .
Adapun menikah dini bagi anak perempuan yang masih kecil (belum haid) hukumnya boleh (mubah) secara syar’i dan sah. Dalil kebolehannya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah.
                Dalil Al-Qur`an adalah firman Allah SWT :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid.” (QS Ath-Thalaq [65] : 4).
                Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa yang dimaksud “perempuan-perempuan yang belum haid” (lam yahidhna), adalah anak-anak perempuan kecil yang belum mencapai usia haid (ash-shighaar al-la`iy lam yablughna sinna al-haidh). Ini sesuai dengan sababun nuzul ayat tersebut, ketika sebagian shahahat bertanya kepada Nabi SAW mengenai masa iddah untuk 3 (tiga) kelompok perempuan, yaitu : perempuan yang sudah menopause (kibaar), perempuan yang masih kecil (shighar), dan perempuan yang hamil (uulatul ahmaal). Jadi, ayat di atas secara manthuq (makna eksplisit) menunjukkan masa iddah bagi anak perempuan kecil yang belum haid dalam cerai hidup, yaitu selama tiga bulan.
                Imam Suyuthi dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil hal. 212 mengutip Ibnul Arabi, yang mengatakan,”Diambil pengertian dari ayat itu, bahwa seorang [wali] boleh menikahkan anak-anak perempuannya yang masih kecil, sebab iddah adalah cabang daripada nikah.”
Jadi, secara tidak langsung, ayat di atas menunjukkan bolehnya menikahi anak perempuan yang masih kecil yang belum haid. Penunjukan makna (dalalah) yang demikian ini dalam ushul fiqih disebut dengan istilah dalalah iqtidha`, yaitu pengambilan makna yang mau tak mau harus ada atau merupakan keharusan (iqtidha`) dari makna manthuq (eksplisit), agar makna manthuq tadi bernilai benar, baik benar secara syar’i (dalam tinjauan hukum) maupun secara akli (dalam tinjauan akal).
                Jadi, ketika Allah SWT mengatur masa iddah untuk anak perempuan yang belum haid, berarti secara tidak langsung Allah SWT telah membolehkan menikahi anak perempuan yang belum haid itu, meski kebolehan ini memang tidak disebut secara manthuq (eksplisit) dalam ayat di atas.
                Adapun dalil As-Sunnah, adalah hadits dari ‘Aisyah RA, dia berkata :
“Bahwa Nabi SAW telah menikahi ‘A`isyah RA sedang ‘A`isyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat ‘Aisyah berumur 9 tahun, dan ‘Aisyah tinggal bersama Nabi SAW selama 9 tahun.” (HR Bukhari, hadits no 4738, Maktabah Syamilah). Dalam riwayat lain disebutkan : Nabi SAW menikahi ‘A`isyah RA ketika ‘Aisyah berumur 7 tahun [bukan 6 tahun] dan Nabi SAW berumah tangga dengan ‘Aisyah ketika ‘Aisyah umurnya 9 tahun. (HR Muslim, hadits no 2549, Maktabah Syamilah).
Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar (9/480) menyimpulkan dari hadits di atas, bahwa boleh hukumnya seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang belum baligh (yajuuzu lil abb an yuzawwija ibnatahu qabla al-buluugh).
                Berkaitan dengan waktu kebolehan “menggauli” istri yaitu setelah istri baligh sebagaimana Rasulullah setelah menikah dengan Aisyah tidak “menggauli”nya hingga Aisyah telah baligh pada usia 9 tahun (ditandai datangnya haidh pertama). Ketetapan syara’ ini sesuai dengan fakta bahwa secara anatomis dan fisiologis, menstruasi (haidh) merupakan siklus reproduksi yang menandakan sehat dan berfungsinya organ-organ reproduksi perempuan serta menandakan kematangan seksual seorang perempuan dalam arti ia mempunyai ovum yang siap dibuahi, bisa hamil, dan melahirkan anak.
                Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa mubah hukumnya seorang laki-laki menikah dengan anak perempuan kecil yang belum haid. Hukum nikahnya sah dan tidak haram. Namun syara’ hanya menjadikan hukumnya sebatas mubah (boleh), tidak menjadikannya sebagai sesuatu anjuran atau keutamaan (sunnah/mandub), apalagi sesuatu keharusan (wajib).
                Sesuai Syari’at = Sehat, Menyalahi Syari’at = Sakit
Syara’ telah merumuskan kaidah: “Haitsumma yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah” (di mana ada penerapan syari’ah, maka disana ada maslahat). Bukan sebaliknya: “aynama wujidat al-maslahah fa tsamma syar’ullah”. (dimana ada maslahat maka disana ada hukum Allah).
Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa 21: 107).
                Berarti, secara logika (akal) syar’i bahwa apa-apa yang sesuai dengan syari’at akan membawa kebaikan (kerahmatan). Sebaliknya apa-apa yang menyalahi syari’at akan membawa keburukan (musibah).
Pernikahan merupakan pengaturan syara’ terhadap interaksi antara laki-laki dan perempuan untuk menghasilkan keturunan (Taqiyuddin an-nabhani, Sistem Pergaulan dalam Islam, 2001).
Berdasarkan logika syar’i diatas (Q.S 21: 107) maka menikah (termasuk menikah dini) akan mendatangkan kerahmatan. Mustahil Allah SWT memerintahkan (wajib, sunah, mubah) yang membahayakan kesehatan manusia. Faktanya menikah efektif mencegah HIV/AIDS-kanker cervix, mental sehat, cegah aborsi, kehamilan yang diinginkan, lebih dari itu menikah syar’i mendapat ridho Allah SWT.
Seks bebas merupakan pemenuhan seksual yang menyalahi syari’at (haram) maka akan mendatangkan keburukan (penyakit, musibah).
                “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa 17 :32).
                Faktanya pelaku seks bebas terinfeksi IMS, HIV/AIDS, kanker cervix, mental sakit, kehamilan tidak diinginkan hingga aborsi, single parent, tidak jelas nasab, jika menikah rentan perceraian, ancaman kepunahan, bahkan lebih dari itu dimurkai oleh Allah SWT mendapat siksa pedih di Neraka.
                Ketakutan dibalik Pernikahan Dini
Ketika kita mengetikkan kata nikah dini dan zina dini (free sex) di mesin pencari maka deretan peristiwa, data dan fakta zina dini akan lebih mudah ditemukan. Sementara fenomena nikah dini hanya akan memunculkan beberapa kasus saja, tapi mengapa nikah dini lebih membuat kebakaran jenggot pihak-pihak tertentu daripada terjadinya zina dini?
                Banyak pihak yang kemudian justru memblow up kasus Syekh Puji dan Ulfa dengan melakukan pencitraan negatif terhadap pernikahan yang dijalani muslimah dibawah 18 tahun. Dengan dalih perlindungan hak belajar dan bermain anak, pelanggaran hak reproduksi anak serta melanggar konstitusi.
Ada pula dalih kesehatan bahwa nikah dini beresiko kanker mulut rahim.
                Kontroversi terhadap pernikahan Syekh Pujiono dan Luthfiana Ulfa adalah gambaran ketakutan terhadap pernikahan dini melebihi ketakutan terhadap maraknya perzinahan dini. Ada apa dibalik ketakutan pernikahan dini ? Berbagai stigma negatif nikah dini bermunculan, namun tidak sesuai dengan fakta, diantaranya:
• Penyebab kanker cervix (sel-sel cervix yang muda bermutasi karena gesekan benda asing), padahal faktanya Ca-cervix adalah akibat terserang kuman HPV secara persisten dan akibat suka berganti-ganti pasangan (seks bebas).
• Penyebab terjadinya komplikasi kehamilan, sehingga menyebabkan kematian ibu dan bayi, padahal banyak bukti di masyarakat nikah dini dapat hamil dan melahirkan sehat.
• Rahim belum siap untuk hamil, padahal bila sudah haidh (baligh) berarti sistem reproduksi matang dan siap hamil (walaupun mis: ibu berumur 9 tahun).
• Bahayakan mental dan hak anak, padahal nikah dini dapat disiapkan sebelum masuk baligh, Syara’ telah menetapkan mukallaf setelah baligh, sehingga dapat dikatakan dengan logika syar’i bahwa seseorang yang telah baligh itu siap bertanggungjawab. Justru bahagia menikah dini.
• Rawan perceraian, padahal perceraian tinggi terjadi pada pernikahan pasca usia dini.
Sebagian besar nikah dini ditolak dengan alasan psikologi. Alasan ini merupakan alasan yang dibuat-buat karena ada ketidak-konsistenan antara upaya penyelamatan psikologi anak bila menjalani pernikahan dini dengan keresahan yang dialami anak menghadapi maraknya pergaulan bebas (berupa fakta-fakta dan pemikiran-pemikiran yang merangsang bangkitnya naluri seksual yang menuntut pemenuhan).
                Anak-anak semakin mengalami keresahan dimana pendidikan yang ada di negeri ini juga tidak menyiapkan mereka untuk memiliki kematangan berpikir dan bersikap dengan landasan ideologi Islam.
Dapat kita bayangkan anak-anak yang sudah baligh mengalami penderitaan, di satu sisi dilarang menikah (karena adanya batasan definisi anak-anak dibawah 18 tahun menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat 1), disisi lain mereka senantiasa mengkonsumsi produk-produk yang membangkitkan naluri seksual (film,sinetron,buku,komik,video dan di tempat-tempat umum). Ini akan membuat mereka gelisah,bingung bahkan sangat mudah terjerumus kedalam pergaulan bebas termasuk perzinahan.
Ditambah lagi peran orangtua sebagai pendidik dan penanggung jawab telah digantikan oleh benda-benda elektronik dan pembantu karena orangtua sibuk berada di luar rumah mengejar materi dan eksistensi diri. Menurut polling yang dilakukan lembaga anti kekerasan online anak-anak, National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), sebesar 75% atau 3 dari 4 anak tersasar dan menemukan gambar-gambar porno dan kekerasan di internet.

Larangan Nikah Dini Upaya Kontrol Populasi
Pernikahan dini bagi seorang perempuan berpeluang untuk memiliki keturunan yang lebih banyak apalagi bila suami memiliki kemampuan nafkah lebih dari cukup dan orangtua dapat memberikan pendidikan yang layak. Pernikahan dini dalam masyarakat Indonesia tidaklah asing, dimana terbukti dengan pernikahan dini tidak mengganggu kondisi psikologi ibu; hubungan ibu dengan anak lebih dekat karena perbedaan usai tidak terlalu jauh; orangtua berpeluang untuk menyaksikan anak-anaknya menginjak usia dewasa bahkan menghantarkan kepada jenjang pernikahan bahkan masih berkesempatan untuk menyaksikan lahirnya cucu-cucu sampai mengikuti pertumbuhan dan perkembangan mereka.
               
Adanya upaya larangan pernikahan dini dikaitkan dengan pencegahan pertambahan populasi penduduk muslim. Ketakutan pertambahan penduduk pada negeri-negeri muslim ditutup-tutupi dengan jargon-jargon “kepedulian terhadap angka kematian ibu; memberi kesempatan untuk hidup sejahtera ; adanya kesulitan pemenuhan konsumsi barang produksi karena SDA terbatas,dll).
                Teori kontrol populasi dipelopori oleh munculnya teori “Ledakan Penduduk” yang dikeluarkan oleh Thomas Robert Malthus (1798) seorang pemikir Inggris yang ahli pada bidang teologi dan ekonomi. Teorinya menyatakan: “Jumlah penduduk dunia akan cenderung melebihi pertumbuhan produksi (barang dan jasa). Oleh karenanya, pengurangan ledakan penduduk merupakan suatu keharusan, yang dapat tercapai melalui bencana kerusakan lingkungan,kelaparan,perang atau pembatasan kelahiran”.
Upaya kontrol populasi pada dasawarsa 60-an telah diungkapkan secara terang-terangan oleh para pemimpin Eropa dan Amerika dalam strategi jahat mereka untuk melakukan pemusnahan total terhadap bangsa-bangsa tertentu secara bertahap.
                Buktinya, pada saat itu Mesir dan India (sebagai Negara yang berpopulasi terbanyak didunia) segera menerapkan program pembatasan kelahiran.
Disamping itu terbukti telah banyak kesepakatan, organisasi gereja dan berbagai lembaga yang mengucurkan dana melimpah untuk merealisasikan program pembatasan kelahiran tersebut, khususnya di Dunia Islam. Misalnya kesepakatan Roma, Lembaga Ford Amerika (yang menyokong apa yang disebut dengan program “kesehatan/kesejahteraan keluarga”), Lembaga Imigrasi Inggris (yang dengan terus terang menyerukan perlindungan alam dengan membatasi pertumbuhan manusia,walaupun harus melalui pembantaian massal).
                Bukti lainnya, pada bulan Mei 1991,pemerintah AS telah mengekspose beberapa dokumen rahasia yang berisi bahwa pertambahan penduduk dunia ketiga merupakan ancaman bagi kepentingan dan keamanan AS. Salah satu dokumen itu ialah instruksi Presiden AS nomor 314 tertanggal 26 November 1985 yang ditujukan kepada berbagai lembaga khusus, agar segera menekan negeri-negeri tertentu mengurangi pertumbuhan penduduknya.
Diantaranya negeri-negeri itu adalah India, Mesir, Pakistan, Turki, Nigeria, Indonesia, Irak dan Palestina.
                Dokumen itu juga menjelaskan pula sarana-saran yang dapat digunakan secara bergantian, baik berupa upaya untuk menyakinkan maupun untuk memaksa negeri-negeri tersebut agar melaksanakan program pembatasan kelahiran. Diantara sarana-sarana untuk menyakinkan program tersebut, ialah memberi dorongan kepada para penjabat/tokoh masyarakat untuk memimpin program pembatasan kelahiran di negeri-negeri mereka, dengan cara mencuci otak para penduduknya agar memusnahkan seluruh faktor penghalang program pembatasan kelahiran,yakni faktor individu, sosial, keluarga, agama yang kesemuanya menganjurkan dan mendukung kelahiran.
                PBB juga telah mensponsori konferensi pertama mengenai masalah ini pada tahun 1994 di Kairo untuk menganalisa masalah overpopulasi dan mengajukan sejumlah langkah untuk mengkontrolnya. Pada konferensi itu diperdebatkan sedemikian banyak pendekatan untuk mengkontrol fertilitas, seperti : dipromosikannya penggunaan alat kontrasepsi, perkembangan ekonomi liberal dan diserukannya peningkatan status wanita. Dasar dari konferensi itu adalah suatu penerimaan atas anggapan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan kemorosotan ekonomi dan dilakukannya usaha-usaha untuk mengkontrol pertambahan penduduk di Dunia Ketiga terhambat oleh keyakinan agama yang mendorong dimilikinya keluarga yang besar dan kurangnya pendidikan bagi wanita.
                Usaha-usaha semacam itu menyebabkan diterimanya pandangan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan efek-efek negatif seperti kemerosotan dan kemandegan ekonomi, kemiskinan global, kelaparan, kerusakan lingkungan dan ketidakstabilan politik.
Filosofi semacam itu telah menjadi mesin pendorong bagi PBB dan Bank Dunia. Pertumbuhan penduduk adalah sebuah problem bagi Afrika, Amerika Latin dan Asia dan jika masalahnya mau terpecahkan maka Negara-negara itulah yang harus melaksanakannya. Dalam hal ini, korban yang telah sangat menderita malah dipersalahkan dengan riset empiris yang mendukung asumsi semacam itu.
                Di Indonesia telah dibuat program-program yang mendukung upaya kontrol populasi untuk berbagai komunitas yang dikomandoi BKKBN dan LSM lokal, nasional dan asing, diantaranya : untuk kalangan Ibu diterapkan KB dengan slogan hindari 4Ter (Terlalu muda,Terlalu tua, Terlalu sering dan Terlalu dekat). Untuk kalangan bapak diarahkan untuk melakukan kondom dengan segala fasilitasnya dan larangan untuk berpoligami. Untuk kalangan remaja adanya pembatasan usia dewasa 18 tahun sehingga dilarang melakukan pernikahan dini dan pendidikan seks/reproduksi dengan istilah Kesehatan Reproduksi Remaja/KRR yang merangsang munculnya naluri seksual dengan slogan “SAVE SEX” dan melarang pernikahan dini.
                Untuk kalangan remaja telah dikeluarkan suatu program yang disebut program Dunia RemajaKu Seru (DAKU). Awalnya program DAKU dikenal di negara Uganda, Afrika, dengan nama The World Start With Me, lalu diadaptasi ke beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, Kenya, Afrika Selatan, Mongolia, Cina, Pakistan, serta Indonesia. Program ini seperti nya didisain untuk negara-negara yang memiliki populasi banyak. Untuk di Indonesia telah diberlakukan sebagai percontohan di Jakarta pada beberapa sekolah sejak tahun 2005, 2006, 2007 di 12 SMU-SMK Jakarta (yaitu SMAN 100, SMA Angkasa 2 dan SMKN 27, SMAN 67, SMAK 7 Penabur dan SMKN 32, SMA Muhammadiyah 19, SMAN 53, SMK Jaya Wisata Menteng, SMAN 7, SMK Walisongo dan SMAN 105.
                Saat ini program tersebut juga telah dikembangkan dibeberapa propinsi diantaranya Bali, Sumatera Utara, Lampung dan Jambi. Program ini disosialisasikan terlebih dahulu oleh suatu LSM yaitu World Population Foundation dan LSM lokal Yayasan Pelita Ilmu. Program yang diperuntukkan bagi anak-anak usia 12-19 tahun, dirancang berbasis teknologi informasi membuat anak-anak remaja bisa langsung secara mudah mengakses berbagai modul-modulnya. Dan yang cukup menarik dalam modul-modul tersebut anak diajarkan untuk bercinta yang sehat tetapi tidak melalui pernikahan dini. Hal ini berarti legalisasi hubungan lawan jenis bahkan di fasilitasi untuk menyalurkan naluri seksualnya tanpa harus dengan pernikahan.
                Kebijakan pemerintah dalam pencegahan perkawinan dini atau usia muda yang masih diberlakukan hingga sekarang, menjadi salah satu faktor pemicu masuknya kejahatan seks bebas. Seharusnya yang dicegah bukan pernikahanan dini, tetapi perilaku seks bebas yang jauh membawa dampak buruk termasuk penyakit kelamin dan penyakit moral.
                Akar Masalah : Tatanan Kehidupan Sekuleristik/Kapitalistik
Maraknya porno aksi-grafi, bisnis prostitusi dan berbagai perilaku seks yang menyalahi syariat dilahirkan dari tatanan kehidupan yang sekuleristik/kapitalistik. Tatanan ini meliputi sistem ekonomi kapitalistik, sistem pendidikan materialistik, sistem pergaulan hedonistik, sistem politik oportunistik, budaya hedonistik. Tatanan inilah yang menyebabkan remaja dalam cengkraman liberalisasi seks, sementara menikah dini dilarang malah dikriminalisasi.
                Larangan nikah dini yang dikaitkan dengan isu ‘ledakan jumlah penduduk’ atau ‘kelebihan populasi’ hanyalah alat yang sangat berguna untuk menjelek-jelekkan negara-negara dengan pertumbuhan penduduk yang besar (baca: negeri-negeri Muslim) dan pada saat yang sama mengurangi risiko berkurangnya pengaruh negara-negara maju di masa datang. Kaum Muslim tentu harus sadar terhadap konspirasi ini. Sebab, jumlah penduduk kaum Muslim yang besar adalah modal potensial untuk membangun SDM yang tangguh dan akan memimpin dunia.
                Lagipula banyaknya jumlah penduduk di dunia tidak akan menjadi masalah berarti. Sebab, pada dasarnya Allah SWT menjamin ketersediaan sumberdaya alam ini untuk menopang kehidupan manusia sampai Hari Kiamat (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 22). Yang menjadikan sebagian manusia mengalami kemiskinan atau krisis pangan (kurang gizi/kelaparan) tidak lain karena kerakusan ideologi Kapitalisme Barat. AS, misalnya, hanya memproduksi 8% minyak bumi, namun mengkonsumsi 25% jumlah minyak bumi yang ada dunia. Jumlah penduduk Barat hanya sekitar 20% dari populasi dunia, namun menghabiskan 80% dari produksi pangan dunia. (Jurnal-ekonomi.org, 2/9/08).
Solusi Islam
                Jelas, semua agenda di atas adalah untuk mengekalkan penjajahan AS dan sekutunya atas kaum Muslim. Allah SWT telah menyatakan dengan tegas bahwa penjajahan atas kaum Muslim adalah haram:
                Allah sekali-kali tidak akan memberi orang-orang kafir jalan untuk memusnahkan orang-orang yang Mukmin (QS an-Nisa’ [4]:141).
                Karena itu, kaum Muslim harus melepaskan diri dari penjajahan AS sebagai negara adidaya pengusung utama ideologi Kapitalisme. Satu-satunya jalan untuk bisa keluar dari penjajahan AS adalah dengan menegakkan kembali sistem kehidupan Islam dalam naungan Khilafah Islam.
Kembalinya kepada kehidupan Islam bukan saja membuat remaja muslim terhindar dari seks bebas dan segala akibatnya.
Tapi juga mengoptimalkan potensi berketurunan, membuat remaja selamat dunia akhirat. Mereka akan menjadi generasi bintang, siap melanjutkan estafet perjuangan dan kepemimpinan Islam rahmatan lil ‘alamin.
                Sistem kehidupan Islam, yakni Khilafah Islam, akan menjadi kekuatan politik yang menaklukan arogansi imperialisme Barat dan sekutunya. Termasuk membatalkan segala kesepakatan internasional yang bersifat menjajah kaum muslimin seprti KRR ala ICPD dan mematikan langkah para pendukungnya. Sistem yang pengelolaan keuangannya mandiri, melayani kebutuhan masyarakat, menjamin kesejahteraan untuk semua, menegakkan sanksi (uqubat) yang dapat menghapus dosa dan membuat jera, sistem yang menanamkan Islam sebagai jalan hidup dan satu-satunya solusi bagi persoalan kehidupan manusia termasuk dalam pemenuhan naluri seks (gharizah na’u), bahkan memfasilitasi pernikahan dini.
                “Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya”. (HR.Muslim).
                Hadist ini sekaligus menunjukan bahwa berjuang menghadirkan kembali Khilafah adalah kewajiban. Inilah jalan satu-satunya untuk mewujudkan semua remaja sehat dan bermasa depan.
Marilah umat Islam bersatu bersinergi untuk mewujudkan kehidupan Islam (Khilafah Islam), untuk memenuhi kewajiban yang agung dan menyempurnakan ketundukkan kita kepada Allah SWT.
                ”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah..” (QS. Al-Imran : 110).

”Barangsiapa yang mati dan tidak ada baiat di pundaknya, matinya mati jahiliyah” (HR. Muslim)
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
                Daftar Pustaka
Abdullah. M. H. Dirasaat Fi Fikril Islam. Am Maan. 1990; HT. Ajhizatudaulah. Beirut. 2005.
An-Nabhani. Taqiyuddin. Sistem Pergaulan Dalam Islam. Jakarta. 2009.
Ganong,W. F. Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta. 1983.
Hawari, D. 2006. Global Effect, HIV/AIDS, Dimensi Psikoreligi. Balai Pustaka-FKUI. Jakarta.
HSA Al Hamdani, 1989, Risalah Nikah, hal. 18
http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/11/05/seks-bebas-di-usia-dini-memicu-kanker-leher-rahim-karena-imunitas-organ-masih-rendah/
http://www.boston.com/news/nation/articles/2006/11/17/abortion_foe_to_lead_on_family_planning/,accessed January 24, 2007.
The Boston Globe, boston.com.
In:The Cochrane Library, Issue2,. Chichester, John Wiley & Sons. UK. 2004.
Jakarta. 2009 (makalah).Budiharsana M dan H. Lestari. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). The Ford Foundation. Jakarta. 2002.DepKes. Profil Kespro. DepKes. RI. 2003. PPT KB & KRR. Elma T. Kasie Remaja & Hak-Hak Rep. BKKBN-Jabar.
Jurnal-ekonomi.org, 2/9/08.
Lawson HW, Frye A, Atrash HK, Smith JC, Shulman HB, dan Ramick K. Abortion Mortality. United States. 1972 .
Moscicki, Anna-Barbara. Impact of HPV Infection in adolescent populations.Journal of Adolescent Health 37, (2005), S3-S9, dl
Muhammad Ismail, Al-Fikr al-Islami, 1958
Suherman, S. K. Adrenokortokotropin, Adrenokortikosteroid, Analog Sintetis dan Antagonisnya. dalam Ganiswarna S. G (ed). Farmakologi dan Terapi. Ed4th. FK UI. Jakarta. 2004.
Syarief, S. Kesehatan Reproduksi Remaja Dalam Program KB Nasional. Tantangan dan Peluang. BKKBN.
Watson RA. t.t. “Urologic Complication of Legal Abortion” dalam News Pers pective on Human Abortion.
Weller S, Davis K. Condom effectiveness in reducing heterosexual HIV transmission (Cochrane Review).







































Dampak Pernikahan Dini

Banyak menimbulkan masalah terhadap kesehatan reproduksi perempuan, seringkali membahayakan terhadap keselamatan ibu dan bayi, menimbulkan problema sosial, dan problem-problem lainnya.
            Dari sisi fisik dan biologis, pada :
1. Ibu:
a. Banyak menderita anemia selagi hamil dan melahirkan.
b. Salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi akibat pernikahan dini
c. Mengalami masa reproduksi lebih panjang, sehingga memungkinkan banyak peluang besar untuk melahirkan dan mempunyai anak
d. Secara medis usia bagus untuk hamil 25-35 tahun, maka bila usia kurang meski secara fisik dia telah menstruasi dan bisa dibuahi, namun bukan berarti siap untuk hamil dan melahirkan serta mempunyai kematangan mental untuk melakukan reproduksi.yakni berpikir dan dapat menanggulangi resiko-resiko yang akan terjadi pada masa reproduksinya.Seperti misalnya terlambat memutuskan mencari pertolongan karena minimnya informasi sehingga terlambat mendapat perawatan yang semestinya.
e. Ketika pernikahan menghentikan kesempatan mengecap pendidikan yang lebih tinggi, berinteraksi dengan lingkungan teman sebaya, maka dia tidak memperoleh kesempatan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas, sehingga berimplikasi terhadap kurangnya informasi dan sempitnya dia mendapatkan kesempatan kerja, yang otomatis lebih mengekalkan kemiskinan(status ekonomi keluarga rendah karena pendidikan yang minim)

2. Anak:
a. bayi lahir dengan berat rendah
b. Salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi akibat pernikahan dini
            Dari sisi sosial, apa yang diungkap oleh sosiolog UNS Dr Drajat Tri Kartono (Suara Merdeka 16 Mei 2002) patut kita perhatikan. Ia mengatakan bahwa pernikahan dini merupakan salah satu faktor penyebab tindakan kekerasan terhadap istri, yang timbul karena tingkat berpikir yang belum matang bagi pasangan muda tersebut. Walaupun di samping faktor tersebut ia menyebut masih ada faktor lain penyebab tindak kekerasan terhadap istri, seperti masa pengenalan yang pendek, kesulitan ekonomi dalam rumah tangga, pengetahuan yang kurang akan lembaga perkawinan, ataupun relasi yang buruk dengan keluarga.
























DAMPAK PERNIKAHAN DINI (PERKAWINAN DIBAWAH UMUR)



Baru saja kita mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi anak perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian khalayak karena merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sbb.:
A. Dampak terhadap hukum
          Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
1. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

2. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

3. UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis dari Beijing Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan.
B. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.

c. Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
d. Dampak sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
e. Dampak prilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.

Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada.
(UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO).

dwpp/08/sumber:Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan/Deputi Bidang Perlindungan Anak.






Isu pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini dipicu oleh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43 tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan opini yang bernada menyudutkan. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negatif.
Di sisi lain, Syeh Puji, begitu ia akrab disapa berdalih untuk mengader calon penerus perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena dianggap masih murni dan belum terkontaminasi arus modernitas. Lagi pula dalam pandangan Syeh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama.
Sebenarnya kalau kita mau menelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa mbah buyut kita dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Bahkan—jaman dulu—pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb.
Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
Pernikahan Dini menurut Negara   
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa  perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.[1]
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat  mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
Pernikahan Dini menurut Islam
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa  agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.[2]  
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat  tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan  adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.      
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.[3]
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis  dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.[4]
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.[5]
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat.  Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ?  
Penutup
Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa rahmat bagi semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam Syatiby dalam magnum opusnya ini harus senantiasa kita perhatikan. Hal ini bertujuan agar hukum Islam tetap  selalu up to date, relevan dan mampu merespon dinamika perkembangan zaman.[6]
Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini adalah dengan pelbagai pertimbangan di atas. Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif. Sebuah permasalahan yang cukup dilematis.
Menyikapi masalah tersebut, penulis teringat dengan gagasan Izzudin Ibn Abdussalam dalam bukunya Qowa’id al Ahkam. Beliau mengatakan jika terjadi dua kemaslahatan, maka kita dituntut untuk menakar mana maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan.[7]
Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ”matang” mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama. Wallahu A’lam         
 *) Penulis adalah santri Lirboyo Kediri asal Pati.
Daftar Pustaka :
1.    UU Perkawinan di www.depag.go.id .
2.    Ibrahim, al Bajuri hlm. 90 vol. 2 Toha Putra, Semarang.
3.    Ibnu Hajar al ’Asqalani, Fathul Bari vol.9 hlm.237 Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
4.    Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir hlm.210 Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
5.    Ibid, hlm.501.
6.    Imam Syatibi, al Muwafaqot hlm.220 Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
7.    Izzudin Ibn Abd. Salam, Qowa’id al Ahkam hlm.90 vol.II Darul Kutub Ilmiah, Beir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar