KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA PADA ERA INI
1.1 Latar Belakang Masalah
Di
dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa
Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang
sangat kecil telah berkembang menjadi bahasa Indenesia yang besar. Bahasa ini
telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia.
Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu
telah “menggusur” sejumlah bahasa local (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia
yng semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan
menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan
bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang
bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja,
bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern
pula.
Perkembangan
yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak
ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peran yang strategis dari
masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasn
ini, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan
Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu
terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa
yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untu
kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawawsan Asia pasifik
(mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peran kawasan ini
(termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan
ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukn pula bagaimana perkembangan
bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah
semenjak lama memiliki tradisi cosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah
menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada diberbagai etnis yang ada d
Nusantara.
Perubahan
yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi
lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia
marginal dan tradisipnal) yang dialami manusia di dalam sebuah proses
perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam raoman dan novel Indonesia. Lihatlah
tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman
Tenggelamnya kapar Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan,
tokh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di
dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia
yang baru, dunia yang global dengan tertatih-tatih.
Dengan
demikian, sastra Indonesia (dan Melayu) modern padahakikatnya adalah sastra
yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan
bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena
ia memangbersaa di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan
bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya.
Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memilikui
posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).
1.2 Rumusan Masalah
a)
Bagaimana proses perkembangan
bahasa indonesia di era moderen?
b)
Bagai mana sejarah bahasa
indonesia?
c)
Kapan bahasa indonesia lahir?
d)
Bagaimana sikap mahsiswa menyikapi
pergembangan jaman dalam berbahasa?
e)
Masih adakan mahasiswa yang
menggunakan bahasa indonesia dengan baik dan benar sesuai aturan?
1.3 Manfaat
a)
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Memasuki era globalisasi dan teknologi informasi, bahasa Indonesia
tidak saja dilihat sebagai aset kebudayaan melainkan merupakan sarana perhubungan
dan aset di bidang ekonomi, politik, dan strategi hubungan global, misalnya
semakin dipelajarinya bahasa Indonesia di Jepang, Australia, Amerika, dll.
Dengan demikian bahasa Indonesia telah menjadi bahasa kedua di negara-negara berbahasa asing yang
dipelajari dan diajarkan, khususnya untuk kepentingan politik, ekonomi dan
pengembangan hubungan global. Untuk itulah yang perlu dipertanyakan kembali,
apakah orang asing yang belajar bahasa Indonesia, hanya belajar bahasa sebagai
ilmu bahasa (linguistik) dan untuk kepentingan berkomunikasi dengan penduduk
penutur bahasa Indonesia.
Kenyataan secara asumtif masih demikian, bahasa Indonesia diajarkan
dalam bentuk aturan-aturan linguistik tanpa melihat bahwa keberagaman suku
bangsa di Indonesia menyebabkan nilai rasa dan aspek rohaniah masyarakat
mempengaruhi bentuk dan makna bahasa Indonesia yang diucapkan. Untuk itu perlu
sekali penutur bahasa asing yang belajar bahasa Indonesia harus mempelajari
juga aspek psikologis masyarakat Indonesia. Pemahaman aspek kebudayaan dan
psikologi masyarakat dan kaitannya dengan berbahasa Indonesia perlu dikenalkan
dan diajarkan kepada penutur asing yang sedang belajar bahasa Indonesia.
Secara historis telah diketahui
bahwa bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional sejak Sumpah Pemuda
1928 yang menyatakan “ Kami Bangsa Indonesia mengaku Berbahasa yang Satu Bahasa
Indonesia”. Padahal bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa persatuan
merupakan salah satu bahasa daerah di Nusantara yaitu bahasa Melayu, sedangkan
di luar daerah berbahasa Melayu, masih banyak bahasa daerah lain yang kalau
dilihat dari sejarah kebudayaan, sastra dan penuturnya lebih besar, seperti
bahasa Jawa, dll. Oleh karena itulah secara psikologis, terdorong oleh sifat nasionalisme yang tinggi
serta “beberapa kearifan lokal” menjadikan suku-suku lain menerima bahasa
Melayu sebagai bahasa nasional dengan nama Bahasa Indonesia. Dalam
perkembangannya Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi, bahasa negara dan
bahasa nasional dan dikukuhkan dalam UUD
1945 pasal 36.
Dalam pertumbuhannya, bahasa Indonesia digunakan sebagai alat
komunikasi antarpenduduk, antarsuku bangsa, yang sudah tentu memiliki latar
belakang sosio-kultural yang beragam. Akibatnya bahasa Indonesia yang
dituturkan oleh penutur dari Jawa berbeda dengan penutur dari Sunda, Madura,
Batak, Bali, Melayu, Irian, Makassar, dll. Persamaan akar bangsa memungkinkan
“toleransi pemahaman dan pemaknaan”. Selain itu karena faktor politik, seperti
yang terjadi pada masa Orde Baru, yang lebih “berbau” Jawa, karena Pak Harto
orang Jawa, berpengaruh terhadap kosa kata sampai pada penamaan gedung-gedung
pemerintah dan istilah politik. Suku lain meskipun sulit untuk melafalkan,
masih mudah (berusaha) untuk memahami. Persoalan yang timbul bagaimana kalau
bahasa Indonesia ini dituturkan oleh penutur asing? Meskipun secara tatabahasa
mungkin dapat dipelajari tetapi bagaimana dengan makna yang tersirat yang
berhubungan dengan psikologis masyarakat Indonesia yang multikultural dan
majemuk? Terlebih bagaimana implikasi pembelajaran BIPA (Bahasa Indonesia Penutur Asing), apakah cukup
mengenalkan aspek linguistiknya saja? Tentunya tidak. Perlu pemahaman psikologi
masyarakat majemuk Indonesia melalui pendekatan silang budaya. Pendekatan
silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah bahasa bahasa resmi Republik Indonesia. Hampir seluruh rakyat
Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia, selain bahasa daerah seperti bahasa
jawa atau bahasa sunda. Pada tahun 1945 Bahasa Indonesia diresmikan setelah Indonesia mencapai kemerdekaan
daripada pihak Belanda.
Bahasa Indonesia adalah bahasa dinamik yang terus menyerap kata-kata daripada
bahasa-bahasa asing. Fonologi dan tatabahasa
Bahasa Indonesia cukuplah mudah, dan dasar-dasar penting untuk komunikasi asas
dapat dipelajari hanya dalam waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan
bahasa pengantar (lingua franca)untuk
pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia.
Secara historis Bahasa
Indonesia merupakan varian bahasa melayu yang juga digunakan di wilayah
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, bagian selatan Thailand, bagian selatan
Filipina, dan beberapa tempat di Afrika Selatan. Bahasa melayu pertama kali diangkat
menjadi bahasa persatuan di Indonesia pada 28 Oktober 1928 dalam peristiwa yang
disebut Sumpah Pemuda. Sejak saat itu, bahasa melayu yang digunakan di wilayah
Indonesia sekarang mulai dinamai Bahasa Indonesia.
Sebenarnya bahasa
melayu bukan bahasa terbesar yang digunakan di Indonesia. Bahasa Jawalah yang
merupakan bahasa terbesar dari segi pemakainya pada saat itu. Namun, bahasa
melayu dipilih sebagai bahasa Indonesia karena bahasa ini sudah menjadi lingua franca atau bahasa pengantar di
wilayah Indonesia dan Asia Tenggara sejak ribuan tahun lalu. Salah satu
buktinya adalah catatan inskripsi di Sojomerto, Jawa Tengah yang menggunakan
bahasa Melayu kuna. Inskripsi ini tidak bertahun, tetapi menurut estimasi ahli
dibuat pada pertengahan abad 7. Ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu pun sudah
dikenal di Pulau Jawa sejak ribuan tahun lalu.
1.
Keadaan Sosial Budaya Indonesia
Secara spesifik keadaan sosial
budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat
penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan
suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial
budaya Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik
Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau
yang terhuni dari jumlah keseluruhan
sekitar 13.667 buah pulau. Dapat dibayangkan bahwa bahasa Indonesia yang
dijadikan sebagai bahasa nasional belum tentu
sudah tersosialisasikan pada 6000 pulau tersebut, mengingat sebagian
besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-15% penduduk Indonesia yang bermukim di
daerah urban. Indonesia sudah tentu bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena
kenyataan Jawa mencakup 8% penduduk urban. Sementara itu bahasa Indonesia masih
dapat dikatakan sebagai “bahasa bagi kaum terdidik/sekolah” pada daerah-daerah
yang tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia.
Bagaimana dengan yang lain? Sementara ada orang asing pada tahun 1998 sangat
kebingungan mengartikan kata lengser
keprabon yang dalam Kamus Bahasa Indonesia belum tercantum, sedangkan untuk
mengartikan lengser keprabon tidak
sekedar pengertian definitif dalam semantik bahasa Indonesia. Lengser keprabon
(yang sekarang sudah dianggap bahasa Indonesia, seperti dengan kata lain
seperti “legawa”) harus dipahami dalam perspektif sejarah
kebudayaan dan sistem politik Jawa. Oleh karena itu dengan mempelajari aspek
psikologis budaya Jawa, penutur asing dapat memahami makna sebenarnya kata “Lengser Keprabon”. Contoh lain, seperti kata “ Gemah Ripah Loh
Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang
menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa dan Sunda memiliki
konsep yang berbeda. Dalam konsep Jawa “Gemah
Ripah Loh Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata
Tentrem Kerta Raharja”, sementara saudara-saudara dari Sunda
mengekspresikan dalam “ Tata Tentrem
Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi
, Rea Ketan Rea Keton Buncir Leuit Loba
Duit” yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih memahami. Sementara
itu di Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang didalamnya terdapat suatu
sistem yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat memperhatikan raso, pareso, malu dan sopan, sehingga
bahasa Indonesia yang dituturkannya pun sangat terkait dengan psikologi budaya
Minangkabau.
Demikianlah,
Indonesia sebagai sebuah “nation state”
yang menurut Benedict Anderson merupakan sebuah imajinasi. Kenyataan di dalam “nation state” terdapat komunitas dalam kemajemukan (heterogeneity), perbedaan (diversity). Dengan demikian bahasa Indonesia merupakan suatu
pengertian tanda budaya yang didalamnya penuh dengan perbedaan (hibriditas).
Hampir sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah “rural” sehingga
budaya heterogen pedesaan sangat mewarnai pola tutur bahasa Indonesia.
Kenyataan menunjukkan tidak semua masyarakat Indonesia hidup di daerah industri
dan berperan sebagai masyarakat industrial, masyarakat informatif, dan bagian
dari masyarakat global.
PENGERTIAN
SASTRA
2.1 Pengertian
Sastra
Sastra
(sansakerta : shastra) merupakan kata serapan dari bahasa sansakerta Sastra,
yang berarti “teks yang yang mengandung intruksi” atau “pedoman”, dari kata
dasar Sas- yang berarti “intruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata
ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis
tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Selain
dalam arti esusatraan. Sastra biasa dibagi menjadi sasta tertulis atau sastra
lisan (sastra oral). Sasta tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi
dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengeksplorasi pengalaman atau
pemikiran.
2.2 Fungsi
Sastra
Dalam
kehidupan masyarakat sastra memilik beberapa fungsi, yaitu:
-
Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat
memberikan hiburan yang menyenengkan bagi pembacanya.
-
Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu
mengaarhkan atau mendidik pembaacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan
yang terkandung didalamnya.
-
Fungsi estetis, yaitu sastra mampu
memberikan keindahan bagi pembacanya.
-
Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu
memberikan pengetahuan kepada pembaca sehinggatahu moral yang baik danburuk,
karena satra yang baik selalu mengandung moral yang inggi.
-
Fungsi religius, yaitu sastra
menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran-ajaran agama yang dapat
diteladani para pembaca sasra.
BAB
III
RAGAM
Pantun
Pantun
merupakan salah satu jenis puisilama yang sangan luas dikenal dalam
bahasa-bahasa Nusantara. Dalam bahas Jawa, misalnya dikenal parikan dan dalam
bahasa sunda dikenal sebagai paparikan. Pantun terdiri atas empat larik (empat
baris bila dituliskan), bersajak akhir dengan pola a-b-a-b (tidak boleh
a-a-a-a). Pantun pada umumnya merupakan sastra lisan namun sekarang dijympai
juga pantun tertulis. Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian sampiran dan
isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam dan
biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain
untuk mengantarkan rima/dajak. Dua baris terahir adalah isi, yang merupakan
isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut. Contoh:
Banyak orang pandei berkitab
Sedikit saja pandai bersyair
Banyak orang pandai berakap
Sedikit saja pandai berfikir
3.1
Puisi
Puisi
(dari bahasa Yunani Kuno :
) adalah seni tertulis dimana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya
untuk tambahan. Penekanan pada segi estetik. Suatu bahasa dan penggunaan
sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa.
Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Menurut beberapa ahli modern
mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literature tapi sebagai perwujudan
imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Contoh puisi:
Aku
Chairil
Anwar
Kalau
sampai waktuku
Ku
mau tak seorang kan merayu
Tidak
juga kau
Tak
perlu sedu sedan itu
Aku
ini binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar
peluru menembus kulitku
Aku
tetap meradang menerjang
Luka
dan bias kubawa lari
Berlari
Hingga
hilang pedih perih
Dan
aku akan lebih tidak peduli
Aku
mau hijdup seribu tahun lagi
3.2
Sajak
Sajak
adalah persamaan bunyi. Persamaan yang terdapat pada kalimat atau perkataan, di
awal, di tengah, dan di akhir perkataan. Walaupun sajak bukan menjadi syarat
khusus bagi sesuatu puisi lama, tetapi pengaruhnya sangat mengikat kepada
baentukdan pilihan kata dalam puisi itu. Sajak terbagi enam jenis;
a. Sajak
Awal
Ialah
persamaan bunyi yang terdaspat pada awal kalimat, seperti pantun berikut:
Kalau
tidak karena bulan
Tidaklah
bintang meninggi hari
Kalau
tidak karena tuan
Tidaklah
saya sampai kemari
b. Sajak
Tengah
Persamaan
yang terdapat di tengan kalimat, seperti:
Guruh
petus penuba limbat
Ikan
lumba berenang-renang
Tujuh
ratus jadikan ubat
Badan
berjumpa maka senang
(Dr.
mandahk)
c. Sajak
Akhir
Sajak yang terdapat pada akhir kalimat.
Sajak ini terdapat hamper pada segala puisi lama dan puisi baru. Misalnya:
Berdiri
aku di tepi pantai
Memandang
lepas ke tengah laut
Ombak
pulang peceh berderai
Keribaan
pasar rindu berpaut
(Amir
Hamzah)
d. Asonansi
Persamaan bunyi hujruf hidup (voksal)
yang terdapat dalam perkataan atau kalimat. Misalnya:
Kini
kami bertikai pangkai
Diantara
dua mana mutiara
Jauhari
ahli lalai menilai
Lengahlangsung
melewat abad
e. Sejak
Sempurna
Dalam memilih perkataan untuk mencapai
perasamaan bunyi, tiadalah selalu bunyi itu jatuh yang sempurna pada suara yang
sama, ada yang mirip dan ada yang benar-benar tepat. Yang tepat disebut sajak
sempurna:
Gabak
hari awan pun mendung
Pandan
terkulai menderita
Sejakmati
ayah kandung
Makan
berrhurai air mata
f. Sajak
Tak Sempurna
Hanya
bunyinya saja yang hamper bersamaan, seperti:
Uncang
buruk tak tertali
Kian
kemari bergantung-gantung
Bujang
buruk tak berbini
Kian
kemari meraung-raung
3.3
Peribahasa
Peribahasa
ialah bentuk pengucapan yang banyak dijumpaidalam kesusastraan lama. Peribahasa
banyak digunakan dalam kehidupan seharian orang pada masa dulu. Bila diselidiki
isi dan jiwa yang terkandung dalam peribahasa itu, banyak bahan yang diambil
dari sejarah, social, dan peri kehidupan mereka di zaman lampau itu. Misalnya,
sekali air bah, sekali tepian berubah. Selain itu pribahasa yang seing
digunakan hingga kini ialah dimana bumi dipjak disitu langit dijunjung.
Peribahasa masih hidup dalam pergaulan sehari-hari dan banyak terdapat buku dan
roman-roman baru
3.4
Majas/Gaya Bahasa
Majas
adalah gaya bahasa dalam bentuk tulisan maupun lisan yang dipakai dalam suatu
karangan yang bertujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang.
Majas dibagi menjadi beberapa macam, yakni majas perulangan, pertentangan,
perbandingan dan pertautan.
BAB IV
PERKEMBANGAN
SASTRA
4.1 Pujangga
Lama
Karya
sastra yang dihasilkan sebelum abad ke-20. pada masa ini karya sastra di Indonesia
di dominasi oleh syair, pantun, gurundam, dan hikayat.
Karya
sastra pujangga lama;
-
Hikayat Abdulah
-
Hikayat Andekan Penurat
-
Hikayat Bayan Budiman
-
Hikayat Hang Tuah
-
Hikayat Kadirun
4.2 Sastra
Melayu Lama
Karya
sastra Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 – 1942, yang berkembang di
lingkungan masyarakat sumata seperti “Langkat tapanui, Padang dan daerah
Sumatra lainnya”. Karya sastra “Melayu Lama”:
-
Robinson Crusoe (terjemahan)
-
Lawan-lawan Merah
-
Mengelilingi Bumi dalam 80 hari
(terjemahan)
-
Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan
-
Cerita Nyai Sarikem
-
Nyai Dasima oleh G. Francid (Indo)
Dan
masih ada sekitar 3000 judu arya sastra Melayu Lama lainnya.
4.3 Angkatan
Balai Pustaka
Karya
sastra di Indonesia sejak tahu 1920-1950, yang dipelopori oleh penerbit balai
pustaka. Balai pustaka di dirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk
dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang
banyak menyoroti kehidupan cabul dan dianggap memiliki politis (liar)
Pengarang
dan karya sastra angkatan Balai Pusataka:
·
Abdu Muis
Pertemuah Jodoh (1964)
Salah Asuhan
Surapati (1950)
·
Merari Siregar
Azab dan Sengsara: kisah kehidupan
seorang gadis (1921)
Binasa Kerna gadis Priang! (1931)
·
Marah Rusli
Siti Nurbaya
Anak dan Kemenakan
·
Nur Sutan Iskandar
Katak hendak menjadi lembu (1935)
Hulubalang Raja (1961)
·
Tulis Sutan Sati
Sengsara Membawa Nimat (1928)
Memutuskan pertalian (1978)
·
Sutan Takdir Aisjahbana
Dian yang tak kunjung padam (1948)
Anak Perawan di Sarah penjamuan
(1963)
·
Hamka
Di bawah lindungan ka’bah (1938)
Di dalam lembah Kehidupan (1940)
·
Marius Ramis Dayoh
Pahlawan Minahasa (1957)
Putra Budiman: Tjaritera Minahasa
(1951)
4.4 Pujangga
Baru
Pujangga
baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadsap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutaa terhadap
karaya sastra yang menyangkut rasa nasinalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra
pujangga baruadalah sastra intelektual, nasionalitik dan elitis menjadi “bapak”
sastra modern Indonesia.
Penulis
dan karya sastra pujangga baru:
·
Sutan Takdir Alisjahbana
Layer Terkembang (1948)
Tebaran Mega (1963)
·
Armijn Pane
Belenggu (1954)
Jiwa Berjiwa
Djinaj-djinak Merpati – Sandiwara
(1950)
Kisah Antara Manusia – Kumpulan
cerpen (1953)
·
Tengku Amir Hamzah
Nyanyi Sunyi (1954)
Buah Rindu (1950)
Setanggi Timur (1939)
·
Sanusi Oane
Pancaran Cinta (1926)
Puspa Mega (1971)
Madah Kelana (1931/1978)
Sandhyakala Ning Majapahit (1971)
·
Muhammad Yamin
Indonesia,Toempah Darah Koe! (1928)
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
Ken Arok dan Ken Dedes (1951)
·
Roestam Efendi
Bebasari : Toneei dalam 3
pertunjukkan (19530
·
Selasih
Kalau Ta’ Ountoeng (1933)
Pengaruh Keadaan (1957)
·
J. E. Talengkeng
Rindoe Dendam (1934)
4.5 Angkatan
‘45
Pengalaman
hidup dan gejolak social-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Ankatan
’45. karya satra angkatan ini lebih relistik disbanding karya angkatan Pujangga
baru yang raomantik-idealistik.
Penulis
dan karya sastra aangkatan ’45:
·
Chairil Anwar
Kerikil Tajam (1949)
Deru Tjampur Debu (1949)
·
Asrul Sani, Rivai ApinChairil Anwar
Tiga Mneguak Takdir (1950)
·
Idrus
Dari Ave Maria ke Djalan lain ke
Roma (1948)
Aki (1949)
Perempuan dan kebangsaan
·
Pramudya Ananta Toer
Bukan Pasir Malam (1951)
Di Tepi Kali Bekasi (1951)
Keluarga Geriba (1951)
Mereka Jang Dilumpuhkan (1951)
Peburuan (1950)
·
Mochtar Lubis
Tidak Ada Esok (1982)
Djalan Tak Ada Ujoung (1958)
Si Jamal (1964)
Harimau-Harimau! (1977)
·
Achdiat K. Mihardja
Atheis - 1958
·
Trisno Sumardjo
Kata Hati dan Perbuatan (1952)
·
M. Balfas
Lingkaran-lingkaran Retak,
Kumpulan Cerpen (1978)
·
Utuy Tatang Sontani
Suling (1948)
Tambera (19520
Awal dan Mira- Drama satu babak
(1962)
4.6 Angkatan
50-an
Angkatan
50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra kisah asuhan H.B. Jassin. Cirri
angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan
kumpulan puisi. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan.
Timbulah perpecahan dan polemic yang berkepanjangan diantara kalangan sastawan
di Indonesia pada awal tahu 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra
karena masuk ke dalam politik praktis dab berakhi pada tahun1965 dengan
pecahnya G30S di Indonesia.
Penulis
dan karya sastra angkatan 50-an
·
Ajip Rosidi
Cari muatan
Di tengah keluarga (1956)
Pertemuan kembali (1960)
Tahun-tahun kematian (1955)
·
Ali Akbar Navis
Biang lala: kumpulan cerita pendek
(1963)
Hujan panas (1963)
·
Bokor Huta Suhu
Datang amaam (1963)
·
Enday Rasidin
Surat Cinta
·
NH. Dini
Dua Dunia (1950)
Hati Yang Damai (1960)
·
Nugroho Noto Susanto
Hujan Kepagian (1958)
Rasa Sajange (1961)
Tiga kota (1956)
·
Sitor Situ Morang
Dalam sadjak (1950)
Djalan Mutiara kumpulan tiga
sandiwara (1954)
Pertempuran dan saldju di
paris(1956)
Surat Kertas Hidjau : Kumpulan
sadjak (1953)
Wadjah tak bernama: Kumpulan
sadjak (1955)
·
Subagio sastro wardojo
Simphoni (1957)
·
Titis basino
Pelabuhan hati (1978)
Dia, Hotel, Surat keputusan
(cerpen) (1963)
Lesbian (1976)
Bukan Rumahku (1976)
Di
bumi aku bersua di langit aku bertemu (1983)
·
Trisno Juwono
Angina laut (1958)
Di medan perang(1962)
Laki-laki dan mediu (1951)
·
W. S. Rendra
Balada orang-0orang tercinta (
1957)
Empat kumpulan sajak (1961)
Ia sudah bertualang dan tjerita-tjerita
pendek lainnya (1963)
4.7 Angkatan
66 – 70-an
Angkatan
ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra horizon. Semangat avant-garde
sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang
sangat beragam dalamaliran sasta, munculnya karya sastra beraliran
surrealistic, arus kesadaran, arkeup, absurd.
Karya
sastra angkatan ‘66
·
Sutardji Calzoum bachri
O
Amuk
Kapak
·
Abdul Hadi WM
Laut belum pasang – (kumpulan
puisi)
Meditasi – (kumpulan puisi)
Potret panjang seorang pengunjung
pantai sanur – (kumpulan puisi)
Tergantung pada angina – (kumpulan
puisi)
Anak laut anak angin – (kumpulan
puisi)
·
Supardi Djoko Damono
Dukamu abadi – (kumpulan puisi)
Mata pisau dan akuarium –
(kumpulan puisi)
Perahu kertas –( kumpulan puisi)
Sihi Hujan – (kumpulan puisi)
Ayat-ayat Api –( kumpulan puisi)
·
Goenawan Mohamad
Interlude
Parikesit
Potret
seorang Penyair muda sebagai si malin kundang – (kumpulan esai)
Misalkan kita di Sara Jevo
·
Umar Kayam
Seribu kunang-kunang di manhattan
Sri Sumarah dan Bawuk – (kumpulan
cerita pendek)
Pada suatu saat di Bandar Sanggih
Kelir Tanpa Batas
Para Priyayi
Jalan menikung
·
Danarto
Godlob
Adam Makrifat
Berhala
·
Putu Wijaya
Telegram
Stasiun
Pabrik
Gres
Bom
Aduh (Drama)
Edan (Drama)
4.8 Dasawarsa
80-an
Sastra
di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya
roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut
yaitu Marga T. Majalah Horison tidak ada lagi, karya sasta Indonesia pada masa
angkatan ini tersebar luas di berbaaimajalah dan penerbitan umum.
Karya
sastra angkatan Dasawarsa 80-an
Badai pasti berlalu
Cintaku di kampus biru
Sajak sikat gigi
Arjuna mencari cinta
Manusia kamar
Karmila
Namun
yang tidak boleh dilupakan, pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang
beraliran pop 9tetai tetap sah disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai
salah satu alat komunikasi). Yaitu lahirnya sejumlah novel pouler yang
dipelopori oleh Hilman dengan serial Lupus-nya.
BAB
V
UNSUR
INTRINSIK DAN UNSUR EKSTRINSIK
Karya
sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya. Dua unsur yang dimaksud iaslah
unsur intrinsic dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsic ialah unsur yang menyusun
sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya sastra,
seperti : tema tokoh dan penokohan, alur dan pengeluaran, latae dan pelataran,
dan pusat pengisahan. Sedangkan unsur ekstinsik ialah unsur yang menyusun
sebuah karya sastra dari luasnya menyangkut aspeksosiologi, psikologi, dan lain-lain.
5.1 Unsur
Intrinsik
a. Tema
dan amanat
Tema ialah persoalan yang menduduki
tempat utama dalam karya sastra. Tema mayor ialah tema yang sangat menonjol dan
menjadi persoalan. Tema minor ialah tema yang tidak menonjol.
Amanat ialah pemecahan yang diberikan
oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. Amanat biasa disebut
makna. Makna dibedakan menjassdi makna niatan dan makna muatan. Makna niatan
ialah maknayang diniatkan oleh pengarang bagi jkarya sastra yang ditulisnya.
Makna muatan ialah makna yang termuat dalam karya sastra tersebut.
b. Tokoh
dan penokohan
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra.
Dalam karya sestra biasanya ada beberapa tokoh, namun biasnya hanya ada satu
tokoh utama. Tokoh utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan
dalam karya sastra. Dua jenis tokoh adalah tokoh datar (flash character) dan
tokohbulat (round character).
Tokoh datar ialah tokoh yang hanya
menunjukka satu segi, misalnya baik saja atau buruk saja. Sejak awal sampaiu
akhir cerita tokoh yang jahat akan tetap jahat. Tokoh bulat adalah tokoh yang
menunjukkan berbagai segi baik buruknya, kelebihan dan kelemahannya. Jadi ada
perkembangan yang terjadi pada tokoh ini. Dari segi kejiwaan dikenal ada tokoh
introvert dan ekstrovent. Tokoh introvert ialah pribadi tokoh tersebut yang
ditentukan oleh ketidaksadarannya. Tokoh ekstrovert ialag pribadi tokoh
tersebut yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra dikenal pula
tokoh protagonist dan antagonis. Protagonisialah tokoh yang disukai pembaca
atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Antagonis ialah tokoh yang disukai
pembaca atau penikmat sastra karena sifat-difatnya.
Penokohan atau perwatakan ialah teknik
atau cara-cara menampilkan tokoh. Ada beberapa cara menampilkan tokoh. Cara
analitik, ialah cara cara penampilan tokoh secara langsung malalui uraian
pengarang. Jadi pengarang menguraikan cirri-ciri tokoh tersebut secara
langsung. Cara dramatic, ialah cara mnampilkan tokoh tidak secara langsung
tetapi melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelaku
atau tokoh dalam suatu ceita. Dialog ialah cakapan antara seorang tokoh dengan
banyak tokoh. Dualog ialah cakapan antara dua tokoh saja. Monolog ialah cakapan
batin terhadap kejadian lampau dan yang sedang terjadi. Solilokui ialah bentuk
cakapan batin terhadap peristiwa yang akakn terjadi.
c. Alur
dan Pengaluran
Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian
peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan
yang padu bulat, dan utuh. Alur terdiri atas beberapa bagian:
1) Awal,
yaitu pengarang mulai memperkenalkan tokoh-tokohnya.
2) Tikaian,
yaitu terjadi konflik di antara tokoh-tokoh pelaku.
3) Gawatan
atau rumitan, yaitu konflik tokoh-tokoh semakin seru.
4) Puncak,
yaitu saat puncak konflik di antara tokoh-tokhnya.
5) Leraian,
yaitu saat peristiwa konflik semakin reda dan perkembangan alur mulai
terungkap.
6) Akhir,
yaitu seluruh peristiwa atau konflik telah terselesaikan.
Pengeluaran, yaitu teknik atau cara-cara
menampilkan alur. Menurut kualitasnya, pengeluaran dibedakan menjadi alur erat
dan alur longgar. Alur erat ialah alur yang tidak memungkinkan adanya
pencabangan cerita. Alur longgar ialah alur yang memungkinkan adanya
pencabangan cerita. Menurut kualitasnya, pengeluaran dibedakan menjadi alur
tunggal dan alur ganda. Alur tunggal ialah alur yang hanya satu dalam karya
sastra. Alur ganda ialah alur yang lebih dari satu dalam karya sastra. Dari
segi urutan waktu, pengeluaran dibedakan kedalam alur lurus dan tidak lurus.
Alur lurus ialah alur yang melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan dari awal
sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah alur yang melukiskan tidak urut
dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus bias menggunakan gerak balit
(backtracking), sorot balik (fashback), atau campuran keduanya.
d. Latar
dan Pelataran
Latar disebut juga setting, yaitu tempat
atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya
sastra. Latar atau setting dibedakan menjadi atar material dan social. Latar
material ialah lukisan latar belakang alam atau lingkungan di mana tokoh
tersebut berada. Latar sosial, ialah lukjisan tatakrama tingkah laku, adapt,
dan pandangan hidup. Sedangkan pelataran ialah teknik atau cara-cara
menampilkan latar.
e. Pusat
Pengisahan
Pusat pengisahan ialah dari mana suatu
cerita dikisahkan oleh pencerita. Pencerita di sini adalah pribadi yang
diciptakan pengarang untuk menyampikan cerita. Paling tidak ada dua pusat
pengisahan yaitu pencerita sebagai orang pertama dan pencerita sebagai orang
ketiga. Sebagai orang pertama, pencerita duduk dan terlibat dalam cerita
tersebut, biasanya sebagai aku dalam tokoh cerita. Sebagai orang ketiga ,
pencerita tidak terlibat dalam cerita tersebut tetapi ia duduk sebagai seorang
pengamat atau dalang yang serba tahu.
f. Karakter
Tokoh dalam cerita. Karakter dapat
berupa manusia, tumbuhan maupun benda. Karakter dapat dibagi menjadi:
1. Karakter
utama: tokoh yang membawakan tema dan memegang banyak peranan dalam cerita.
2. Karakter
pembantu: tokoh yang mendamping karakter utama.
3. Protagonis:
karakter/tokoh yang mengangkat tema.
4. Antagonis:
karakter/tokoh yang memberi konflik pada tema dan biasanya berlawanan dengan
karakter protagonis.m(ingat, tokoh antagonis belum tentu jahat)
5. Karakter
statis (flat/ static character): karakter yang tidak mengalami perubahan
kepibadian atau cara pandang dari awal samp[ai akhir cerita.
6. Karakter
dinamis (Round/dynamic character): kasrakter yang mengalami perubahan
kepribadian dan cara pandang . karakter ini biasanya dibuat semirip mungkin
dengan manusia sesungguhnya, terdiri atas sifat dan kepribadian yang kompleks.
Catatan: karakter pembantu biasanya
aadalah karaker statis karena tidak digambarkan secara detail oeh penulis
sehingga peruybahan kepibadian dan cara pandangnya tidak pernah terlihat secara
jelas.
g. Karakterisasi
Cara penulis menggamnarkan karakter. Ada
banyak cara untuk menggali penggambaran karakter, secara garis besar
karakterisasi ditinjau melalui dua cara yaitu secara naratif dan dramatic.
Tekniknaratif berarti karakterisasi dari tokoh dituliskan langsung oleh penulis
atau narrator. Teknik daramatik dipakai ketika karakterisasi torkoh terlihat
dari antara lain: penampilan fisik karakter, cara berpakaian, kata-kata yang
diucapkan, dialognya dengan karakter lain, pendapat kerakter lain, dll.
h. Konflik
Konfklik adalah pergumulan yang dialami
olh karakter dalam serita dan. Konflik ini merupakan inti dari sebuah karya
sastra yang pada akhirnya memberntuk plot. Ada empat macam konflik, yang dibagi
dalam dua garis besar:
Konflik
internal
Individu-diri
sendiri: konflik ini tidak melibatkan orang lain, konflik
ini ditandai dengan gejolak yang timbul dalam diri sendiri mengenai beberapa
hal seperti nilai-nilai. Kekuatan karakter akan terlihat dalam usahanya
menghadapi gejolak tersebut.
Konflik
eksternal
Individu-individu: onflik yang dialami dedeorang dengan orang
lain.
Individu-alam:
konflik yang dialami individu dengan alam. Konflik ini menggambarkan perjuangan
individu dalam usahanya untuk mempertahankan diri dalam kebesaran alam.
Individu-Lingkungan/masyarakat:
konflik yang dialami individu dengan masyarakat atau lingkungan hidupnya.
i.
Symbol
Symbol digunakan untuk mewakili sesuatu
yang abstrak. Contoh: burung gagak (kematian).
j.
Sudut Pandang
Sudut
pandang yang dipilih penulus untuk menyampaikan ceritanya.
1. Orang
pertama: penulis berlaku sebagai karakter utama cerita, iini diutandai dengan
penggunaan kata “aku”. Penggunaan teknik ini menyebabkan pembaca tidak
mengetahui segala ha yang tidak diungkapkan oleh sang narrator. Keuntungan dari
teknik ini dalah pembaca merasa menjadi bagian dari cerita.
2. Orang
kedua: teknik yang banyak menggunakan kata ‘kamu’ atau ‘anda’. Teknik ini
jarang sipakai karena memaksa pembaca untuk mampu berperan serta dalam cerita.
3. Orang
ketiga: cerita dikisahkan mnggunakan kata ganti orang ketiga, seperti:mereka
dan dia.
k. Teknik
Penggunaan Bahasa
Dalam menuangkan idenya, penulis biasa
memilih kata-kata yang dipakainya sedemikian rupa sehingga segala pesannya
sampai kepada pemabaca. Selain itu, teknik penggunaan bahasa yang baik juga
membuat tuisan menjadi indah dan mudah dikenang. Teknik berbahasa ini misalnya
menggunakan majas, idiom, dan peribahasa.
5.2 Unsur
Ekstrinsik
Unsur
ekstrinsik sebuah karya sasta dari luarnya menyangkut aspek sosiologi,
psikologi, dan lain-lain. Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom, tetapi
selalu pastibewrhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah
faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan llingkungan, pembaca
sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur
ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu
sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik , diperlukan
bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi,filsafat, dan lain-lain.
Menurut
Tuhusetya (2007), sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindarkan
dari dimensi kemanusiaan. Kejadia-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada
umumnyadijadikan seumbner ilham, bagi para sastrawan untuk membuat suatu karya
sastra.
Seorang
sastrawan mamiliki penalaran tinggi, mata batin yang tajam, dan memiliki daya
intuitif yang peka. Kelebihan-kelebihan itu jarang sekali ditemukan pada orang
awam. Dalam hal ini, karya sastra yang lahir pun akan diwarnai oleh latar
belakang sosiokultural yang melingkupi kehidupan sastrawannya.
Suatu
keabsahan jika dalam karya sastra terdapat unsur-unsur ekstrinsik yang turut
mewarnai karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik yang dimaksud seperti filsafat,
psikologi, religi gagasan, pendapat, sikap, keyakinan, dan visi lain dari
pengarang dalam memandang dunia. Karena unsur-unsur ekstrinsik itulayh yang
menyebabkan karya sastra tidak mung terhindar dari amanat, tendensi, unsur
mendidik, dan fatwa tentang makna kearifan hidup yang ingin disampaikan kepada
pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Agni,
Binar. 2009. Sastra Indonesia Lengkap. Jakarta: Hi-Fest Publishing.
Arifin,
Zaenal E. 2006. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akedemika
Pressindo.
Endraswara,
Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Presinfo.
http://21eper.multiply.com/journal/item/40/unsur-ekstrensik-dalam-puisi
http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/home-sastra-teater-penaku-pengertian-fungsi-dan-ragam-sastra/
Mahayana,
Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta:PT. Raja Grafindo persada
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyusun
makalah bahasa Indonesia yang berjudul “Sastra”. Makalah ini disusun
berdasarkan sebagai syarat menempuh mata kuliah bahasa Indonesia Keilmuan tahun
pelajaran 2009.
Saya menyadari masih banyak terdapat
kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat saya harapkan demi perbaikan kedepannya. Akhir kata
saya ucapkan terimakasih, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Metro, 06 Desember 2009
Penyusun
ii
|
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL......................................................................................... i
KATA
PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR
ISI ..................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................. 1
BAB II PENGERTIAN
SASTRA................................................................ 3
2.1
Pengertian Sastra....................................................................... 3
2.2
Fungsi Sastra.............................................................................. 3
BAB III RAGAM
SASTRA............................................................................ 5
3.1
Pantun........................................................................................ 5
3.2
Puisi 5
3.3
Sajak.......................................................................................... 6
3.4
Peribahasa.................................................................................. 9
3.5
Majas.......................................................................................... 8
BAB IV PERKEMBANGAN
SASTRA........................................................ 10
4.1
Pujangga Lama.......................................................................... 10
4.2
Sastra Melayu Lama.................................................................. 10
4.3
Angkatan Balai Pustaka............................................................. 11
4.4
iii
|
4.5
Angkatan ’45............................................................................. 14
4.6
Angkatan 50-an......................................................................... 16
4.7
Angkatan 66 – 70-an................................................................. 18
4.8
Dasawarsa 80-an........................................................................ 20
BAB V UNSUR
INTRINSIK DAN EKSTRINSIK.................................... 22
5.1
Unsur Intrinsik........................................................................... 22
5.2
Unsur Ekstrinsik........................................................................ 29
iv
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar